Masa tidak stabil pada 1940-an perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung cepat. Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan otoritas ke pem...


Masa tidak stabil pada 1940-an perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung cepat. Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan otoritas ke pemerintahan Jepang termasuk pengelohan perkenbunan Mento Toelakan.

A.  Mento Toelakan Masa Pendudukan Jepang

Adanya perjanjian pemerintahan Hinda Belanda dan Jepang pada 1942, kota Surakarta pun dikuasi Jepang, wilayah Vorstenlenden sebagai kochi oleh pemerintahan militer Jepang. Kebijakan Jepang mengubah Paku Buwana XI (1939-1945) Surakarta Koo dan Mangkunegara VII (1916-1944) Mangkunegara Koo statusnya dibawah Dai Nippon Gunshireikan agar bisa kerja sama dengan Jepang, kebijakan tersebut memengaruhi Onderneming Mento Toelakan Jepang  menguasai hingga Eropa angkat kaki dengan aturan Undang-Undang No.17 1 Juni 1942, dengan mengambil tanah partikelir asing.

Jepang memperluas perkebunan serat di bawah perusahan Mitsui Noorin Company dan Osaka Seima. Serat yang dikembangkan antaranya yute jawa, rosela, rami dan sisal (Agave sisalana) dengan perusahaan Osaka Seima, Keizumi Seima dan Nanyo Kohatsu,  adanya krisis sandang maka mewajibkan menanam rami, rosela dan kapas sampai masyarakat bumi putra menggunakan kain goni sebagai pakaian hingga tumbuh penyakit kulit.

Pada 1940, Wonogiri minim musim hujan, berdampak kawasan gunung kapur sehingga gagal panen,  Mento Toelakan krisis air karena tidak memiliki cadangan air. Selain itu, masyarakat Mento Toelakan tidak merasakan manfaat hasil perkebunan karena semua produksi digunakan oleh Jepang.

B.  Mento Toelakan Masa  Revolusi

Pada 1945, Jepang menyerah kepada sekutu, Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan. Pemuda mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan terlaksana pada 17 Agustus 1945.

Surakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Mangkunegaran (DIM) dan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) bagian dari Republik Indonesia. Perkebunan dan perusahan serat Mento Toelakan diambil alih oleh pihak mangkunegara adanya upaya membangkitkan kembali pengelolahan serat.

Mangkunegara sebagai penguasa di alam republik kurang mampu menyesuaikan diri dan terjadi anti swapraja sehingga Pemerintahan Republik mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.16/SD tahun 1946 dikeluarkan 15 Juli 1946, dengan keputusan semua pegawai, bangunan dan peralatan dambil alih pemerintah pusat. Pemerinatahan mengeluarkan aturan mengenai nasionalisasi aset perusahaan milik Mangkunegaraan sehingga produksi serat perkebunan Mento Toelakan tidak bisa beroprasi secara normal.

Pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda berupaya masuk ke pusat Wonogiri dan menyerang pada 20 Februari adanya perlawanan pejuang jalur yang menghubungkan Mento Toelakan dengan aerah lainya dihancurkan. Mento Toelakan dilindungo oleh personel Semut Ireng dan KNIL, adanya blokade Mento Toelakan lumpuh tidak bisa menjual hasil produksi, tuntutan pegawai yang butuh makan dan gaji membuat Mento Toelakan bangkrut. Kemunduran Mento Toelakan juga dipengaruhi sistem manajerial, kondisi serba chaos memengaruhi sistem manajireal yang tidak bisa beradaptasi dengan kondisi selama masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Mento Toelakan beroprasi sampai 1951.

Penjarahan oleh masyarakat dikawasan pabrik meluas ke jalur lori, jalur kereta lori dijarah dijadikan alat pertanian. Perkebunan benar-benar tidak bisa beroprasi setelah penjarahan

C.  Pembentukan Desa Wonoharjo

Pada 1940an, keruntuhann lahan Mangkunegara mengalami kekosongan pemerintahan, perkebunan Mento Toelakan menjadi beberapa Desa dengan sistem pemerintahan desa yang dibuat pada 1917.

Desa Wonoharjo lahir 1949, secara harafiah berasal dari dua kata, yaitu wana dan harja yang artinya hutan (serat nanas) yang ramai, desa induk di Mento Toelakan. Pemerintahan desa Wonoharjo dipimpin oleh kepala desa dibantu dengan staf dan kepala dusun. Kepala desa ditentukan dengan pemilihan umum yang pernah menjabat yakni Sonorejo, Marbun, Atmo Disastro, Wiro Sumanto, Satro Karmin, Mitro Wiguno, Y.Parmin, Sunaryo, dan Y. Parmin.

Wonoharjo terbagi 14 dusun meliputi  Ngasinan Etan, Ngasinan Kulon, Mento, Gondang Kurung, Setro, Gandaran, Blumbang, Gebung Etan, Gebung Kulon, Semanding, Blimbing, Toelakan, Bledo, dan Talun Ombo pusat ekonomi.

Mento pusat pemerintahan tetapi beberapa kali mengalami pemindahan, pada 1949-1956 berada di rumah ditunjuk kepala desa, pada 1965 nomaden mengikuti domisili kepala desa dan Talun Ombo ditetapkan sebagai pusat pemerintahan dengan berdampingan dengan pasar. Pada 1994, pusat pemerintahan dibpindahkan ke dusun Gandaran.

D.  Pembagian Tanaha Perkebunan Mento Toelakan

Aset Mangkunegara termasuk aset tanah di Mento Toelakan menjadi tanah negara, status tanah tidak beraturan, masyarakat dan bekas pegawai melakukan pembabatan atau mbengkeli nanasan untuk dipatok untuk mengolah lahan bekas perkebunan sebagai lahan pertanian masyarakat lantas mengajukan pemetaan agar mendapat legalitas hak kepemilikan secara individu, tiap individu hingga mendapatkan 2,5 hektar.

Tanah hasil bengkelan diukur oleh petugas atau mantan Hoofd Mandor Martosandjojo yang dipercaya masyarakat karena lulusan HIS untuk mengtahui batasan wilayah anatar individu dan diklaim hak milik kepada Dinas Pertanian Pertahanan atau Agraria Wonogiri pada 1951. Masyarakat mendapatkan legalitas berupa surat hak milik dengan didokumentasikan dibuku induk tanah desa Wonoharjo. Perubahan ini semakin memperjelas batas-batas wilayah, terutama anatar wilayah kabupaten. Setelah muncul desa baru, maka semakin jelas pula batas wilayah.

E.   Dari Perkebunan ke Tegalan: Menghidupkan Kembali Usaha Serat

Mento Toelakan yang bangkrut hingga tanaman serat tumbuh liar, pada 1950 Atmo Sudirjo Slamet dan Marto Sandjojo (Mantan Hoofd Mandor Onderneming) mencoba mengolah serat untuk membangu perekonomian keluarga dan menjadi pengusaha kecil di Wonoharjo dengan mengelola serat rami dan rosela.

Akhir 1940 atau awal 1950-an menjadi perubahan lanskap yang besar di bekas Mento Toelakan, kawasan perkebunan vegetasi perkebunan dibabat dianggap tidak menghasilkan apa-apa  berubah menjadi kawasan persawahan menanam padi, jagung, dan singkong.

Tanaman rami dan rosela tidak membutuhkan banyak tempat tumbuh diantara jagung dan singkong menjadi tanaman yang tersisa dari bekas perkebunan Mento Toelakan yang diolah rumahan pertama dari Wonoharjo dijual ke pengelolahan serat di Delanggu (Klaten) atau ke Nusukan (Solo) tetapi pada 1953 tidak berkembang baik dan harus gulung tikar, beralih ke pertanian.

Pada 1955, desa Wonoharjo kedatangan investor Surabaya yang tertarik sebagai sentra olahan serat. Dengan modal masyarakat yang sudah berpengalaman mendulang kembali kejayaan Onderneming Mento Toelakan, pengusaha mengolah serat menjadi karung goni dan tali tambang hingga 1996.

Pertumbuhan zaman menggeser olahan serat alam dengan plastik karena lebih ekonomis sehingga serat kurang diminati lagi. Perusahan Jawa Timur menutup tempat usahanya kalah bersaing dengan biji plastik karena biji plastik lebih murah dan lebih minim resiko karena tidak memerlukan penanaman dan perawatan. Hal ini perusahaan besar berganti ke biji plastik sebagai bahan dasar pembuatan karung dan tambang,  berakhirlah serat di Desa Wonorejo pada 1996.


Mento Toelakan tercatat lahan  anclave  sebagian wilayahnya milik  Praja  yang dibatasi dengan Kasunanan Surakarta    dengan batasan  paal  ...


Mento Toelakan tercatat lahan anclave sebagian wilayahnya milik Praja yang dibatasi dengan Kasunanan Surakarta  dengan batasan paal atau tugu batas, pada awal abad XX.  Sudah kita bahas di BAB yang sebelumnya bahwa Mento Toelakan terdiri dari tanah apanage yang dikelola priyayi Mangkunegara yang sudah beroprasi pada 1863, lahan apanage belum bisa dipastikan jumlahnya sehingga adanya kemungkinan pernah dikelola sentana, narapraja, atau anggota Legiun Mangkunegaran. Lahan Mento Toelakan disewakan ketika kekuasaan Mangkunegara IV (1853-1881) dan menerapkan kebijakan apanage:

1.      Mento Toelakan tetap dikelola narapraja ataupun anggota Legiun Mangkunegaran.

2.      Lahan Mento Toelakan yang sudah terlanjur disewa swasta tidak bisa ditarik.

3.     Lahan Mento Toelakan di zona abu-abu anatara milik Kasunanan dan Mangkunegara.

4.      Penyewa tanah mendapat dukungan dari pejabat kolonial.

Pada 1916, besaran sewa yang harus dibayarkan kepadan Mangkunegara sebesar 1.009, pada 1917 1.009,02,  pada 1918 1.465,29. Mento Toelakan salah satu perkebunan orang Eropa diluar kontak dengan Gubernemen tetapi pemerintah kolonial memberikan perlindungan melalui Residen Surakarta sehingga tetap eksis sebagai Onderneming.

A.   Mencoba Keberuntungan: Perkebunan Kopi di Mento Toelakan (1863-1897)

Mento Toelakan memiliki luas 1.416,5 bouws atau 1.048,21 ha, berada dilereng gunung Lawu dengan tinggi 600 kaki salah satu sisinya dengan tanah lempung merah atau coklat dan tidak rata sehingga cocok ditanami kopi.

Pada 1863 perkebunan dikelola D.N. Nolten, ditanami kopi dan mencoba menanam tembakau sebagai pendamping, pada 1865. Pada 1869, 1870, 1896 adanya berita yang simpang siur adanya pergantian tanaman kopi atau tembakau yang ditanam, tetapi tetap bahwasannya kopi yang ditanam dan tembakau sebagai pendamping.

Pada 1875-1876 adanya perubahan penyewa Onderneming Mento Toelakan oleh P.W.G. Gout salahsatu pengusaha perkebunan kopi di Vorstelenden, hasil kopi Mento Toelakan tidak sebaik wilayah lain dengan bukti laporan yang flukuatif. Pada 1882 produksi awal kopi 267 pikul, pada 1883 produksi kopi 100 pikul. Mengalami lonjakan sejak 1882 hingga 1883 dan mengalami penuruna 1883 samapai 1884 penyebabnya di Hindia-Belanda adanya penyakit karat daun hingga produksi kopi Vorstelenden jatuh pada periode 1882-1886 hingga Ekspor terpuruk pada 1890.

Pada 1886, P.W.G. Gout meninggal dunia, Onderneming Mento Toelakan dibeli J.C Buwalda dengan mempertahankan komoditas kopi dan tembakau, sistem panen tembakau lebih cepat dari pada kopi. Perkebenun kopi belum normal selepas adanya wabah karat daun, pada 1889 produksi kopi 20 pikul, pada 1890 produksi kopi 25 pikul, sedangkan tembakau 5.000 kg. Penanaman tembakau dibarengi dengan pembangunan gedung tembakau, pada 1889 gedung tembakau ada 3 tetapi sayangnya gedung tersebut kebakaran sehingga mengalami kerugian 3.000.

Pada 1890 P. Buwalda ikut mengurusi perkebunan Mento Toelakan sebagai administator tetapi masih dimiliki J.C Buwalda. Pada awal P. Buwalda Mento Toelakan masih menggandalkan kopi, kopi sebagai komoditas unggul sampai 1895.

Pada 1895,  P. Buwalda tidak bisa mengelola Mento Toelakan karena sibuk mengurus perusahan perkebunan di Jawa Tengah dam Jawa Timur sehingga P. Buwalda menunjuk C.F.W.K. Happe sebagai administator untuk perkebenunan kopi Mento Toelakan hingga menjabat sampai 1901.

B.    Masa Transisi: Dari Kopi ke Serat (1897-1910)

Pada 1897 C.F.W.K. Happe memikirkan tanaman kakao dan kapuk sebagai pendamping kopi, kakoa di Hindia Belanda pada abad XIX. Pada 1899 adanya penanaman lada. Pada 1098 memulai memaksimalkan tembakau sebagai komoditas pendamping kopi. Dengan adanya kebakaran gedung tembakau pada 1889 membuat wasawas proyek tembakau di Mento Toelakan pada 1 Juni 1898 sehingga pengawas akan diberikan gaji f 100 per bulan prosentase hasil produksi yang akan dinegosiasikan oleh kedua belah pihak, dan pembudidayaan tembakau terlaksana pada 1901.

Pada 1902 C. Happe digantikan oleh H.C.B. Onken, perlahan memulai menjadikan Mento Toelakan sebagai sentra perkebunan serat, kopi dianggap kurang cocok, serat tidak sesulit kopi, serat tidak membutuhkan air banyak, dan bisa tumbuh subur di lahan kering. Kapuk yang sudah dibudidayakan terlebih dulu mulai dimaksimalkan. Serat nanas mulai ditanam, kedua jenis serat tersebut mengidikasikan usaha dari pemilik modal dan administrator untuk menggantikan tanaman kopi yang kurang menguntungkan brankas perusahaan sehingga serat nanas dan kapuk menjadi komoditas utama perkebunan Mento Toelakan.

Pada 1905, tanaman kopi sebagai komoditas utama digantikan Sisal (salah satu jenis serat nanas Agave sp) dibudidayakan secara masih hingga menjadi tnaman utama diperkebunan Mento Toelakan. Kapuk menjadi tanaman pendamping Sisal. Tetapi kopi masih ditanam di sebagian lahan Mento Toelakan.

Onderneming Mento Toelakan didaftarkan sebagai perusahaan serat pada 1906 dengan nama  P. Buwalda dan Th. B Pleyte, modal   150.000 yang terbagi dalam saham yang masing-masing  1.000 dan baru distujui pada 1907 diregistrasi bernama Mento Toelakan Culutuurmaatshappij.

Mento Toelakan Culutuurmaatshappij merupakan anak perusahaan Buwalda Administratie Semarang, dengan persetujuan 24 Mei 1907 dengan kantor pusat di Semarang, memiliki perusahaan induk di Belanda, yaitu Buwalda & Co. Bosch yang didirikan pada 1894 di Amsterdam, hal ini menjadikan perusaahn Mento Toelakan lebih luas dan maju  hingga memnuhi kebutuhan serat ditingkat lokal sampai internasional.

Serat tidak memberikan keuntungan sebesar kopi dan gula akan tetapi kebutuhan karung goni dalam industri gula dan kopi semakin besar sehingga produksi serat untuk memenuhi kebutuhan gula dan kopi dapat memberi keuntungan, mengoptimalkan serat di Mento Toelakan pada 1904. Buwalda memahami yang dibutuhkan masa yang akan datang atau mencuri start mempersiapkan sentra penghasil serat sebelum serat nanas menjadi trend di Hindia Belanda pada 1920-an dapat memenuhi brankas perusahan Buwalda. Mento Toelakan semakin berkembang pesat sebagai sentra serat di Hindia Belanda.

Pembudidayaan kopi lambat laun menjadi tanaman pendamping serat, kopi dibudidakan di daerah ketinggian, sedangkan Agrave sp atau searat nanas ditanam di dataran rendah. Pada 1906, H.C.B. Onken digantikan H.M. Middlebeek sebagai kepala adminstitor di Mento Toelakan. Kopi tak lagi andalan perkebunan, tanaman indigo sebagai tanaman peneduh sekaligus bahan baku tekstil, kapuk (randu) sebagai penghasil kapuk, dan tembakau untuk mengisi kekosongan panen tanaman komoditas lainnya untuk mengisi kekosongan panentanaman komoditas lainnya pada musim tertentu, kebijakan berlangsung hingga 1910.Pada 1908 mulai memasarkan Agrive rigida tanaman yang memproduksi serat dari daun untuk keperluan industri, sehingga Mento Toelakan sebagai perkebunan serat rosella, rami, kapas/ kapuk, dan serat nanas selain itu masih memproduksi kopi dan tembakau.

Pada 1909, kopi di Mento Toelakan berakhir dan tembakau juga ikut berakhir karena Mento Toelakan bersiap memproduksi serat dengan sekala besar sehingga mengorbankan tanaman komoditas yang kurang produktif.

Adanya hal menarik selama periode 1897 hingga 1910 adalah perkebunan Mento Toelakan tidak dipegang pemilik secara langsung. Onderneming Mento Toelakan dikelola perusahaan milik Buwalda Semarang menjadikan Mento Toelakan perusahaan modern, dapat menjelajahi pasar lokal dan internasional. Perusahaan stabil karena tidak berkantung pada pasar internasional.

C.    Masa Kejayaan: Vezel Onderneming Mento Toelakan (1910-1942)

Penanaman kopi tidak lagi dilakukan pada 1910-an untuk memaksimalkan serat nanas dan mengembangkan berbagai jenis serat kwaliteit (kualitas) bagus sebagai campuran olahan serata nanas (Agive sp) sehingga menjadi Vezel Onderneming Mento Toelakan. Pada 1912, ada tanaman yute jawa (Hibiscus cannabinus) sebagai pendamping dengan minim biyaya perawatan dan dapat tumbuh diantara tanaman Agive sp. Agive sp berusia 20tahun diganti tanaman yang baru meskipun membutuhkan tenaga lebih tetapi pekerja menghasilkan serat yang baik.

Pada 1911, serat nanas dan serat yute jawa mendapat grade terbaik, sehingga memepertahankan dengan menanam Agave rigida, Agave cantala, dan Agave sisalana. Pada 1930, menemukan serat yang cocok dibudidayakan yakni Agave sisalana, hasil panen dipasarkan keseluruh Hindia Belanda, hingga tekenal produsen serat dengan kualitas dan kwaliteit terbaik.

Pada 1911, perusahaan sudah mendatangkan alat-alat modern untuk pengelolah dan pembersih serat hingga menjadi serat setengah jasi untuk dikirim di Klaten dan Surabaya. Pada 1913, menggunakan teknologi traktor agar mengolah lahan efektif dan efesien, tetapi kemajuan teknologi tidak diimbangi dengan sistem pengairan yang memadai. Pada Maret 1922 pembangunan jalur kereta tream Surakarta-Wonogiri pendukung akses distribusi perkebunan ke pelabuhan untuk ekspor, baik melalui Semarang maupun Surabaya. Untuk mempermudah pengangkutan, perkebunan membuat jalur lori penghubung kebun dan pabrik.

Pada 1919, ditengah keberhasilan Mento Toelakan P. Buwalda pemilik Culutuurmaatshappij Mento Toelakan meninggal dunia tetapi perushaan tetap berjalan di bawah naungan perusahaan profesional. Pada 1924, administrator perkebunan berganti P.W.C. Blankwaardt yang memiliki pengalaman dan relasi banyak. Untuk membangun relasi dunia bisnis melalui pernikahan putri Blankwaardt anak ke 2, Helena P.F. Blankwaardt dengan anak pemimpin perusahaan S.F. Djatiwangi di Cirebon pada 4 Desember 1927, dimaknai dengan pernikahan politis dalam dunia bisnis. Mento Toelakan bergerak pada perkebunan serat, sedangkan S.F. Djatiwangi pada industri gula, hal ini olahan serat digunakan sebagai karung untuk gula.

Pada 1928, F.H. Blankwaardt-van Egomond istri Blankwaardt meninggal dunia, pada November 1930 Blankwaardt usia 53 tahun menghembuskan nafas terakhir. Kursi administrator kosong pada 1940 baru didisi A. Mulder, A. Mulder administrator terakhir Onderneming Mento Toelakan dan akhirnya jatuh ke Jepang pada 1942.

 

   Pada masa kolonial, tanaman serat nanas merupakan komoditas ekspor yang sangat dibutuhkan di dunia, perusahaan Eropa Belanda kekurangan t...


  Pada masa kolonial, tanaman serat nanas merupakan komoditas ekspor yang sangat dibutuhkan di dunia, perusahaan Eropa Belanda kekurangan tali temali yang terbuat dari serat.

A. Komoditas Serat di Hindia Belanda

Adanya serat keras dan serat halus, serat masih susah dicari karena Jawa lebih memilih produksi kopi, gula, dan tembakau. Untuk memenuhi permintaan serat diperlukan beraneka macam serat.

Serat Untuk Tali Keras

Adanya dua jenis serat diantaranya serat nanas dan serat abaka. Serat abaka adalah tanaman penghasil serat yan awalnya dibudidayakan di Filipina. Pada 1818 produksi pencapai 300 bal mengalami peningkatan pada akhir tahun 1917 dengan satu juta bal produksi serat hingga menjadikan Filipina sebagai produksi utama.  Ekspor tidak dilakukan sebelum abad kesembilan belas dan mencapai puncaknya menjelang tahun 1850 ekspor abaka tidak dilakukan. Hindia Belanda tahun 1905 muncul penanaman serat abaka dalam skala kecil di Jawa dan Sumatera. Berkembang dengan pesat pada 1911 semua perusahaan memproduksi 200ton sehingga Hindia Belanda menjadi pesaing serius Filipina tetapi Hindia Belanda tidak dapat menjaga reputasi dari produksi serat abaka dalam waktu yang lama karena serat abaka di Jawa menggunakan metode ekstaraksi dengan mesin yang tanpa disadari kualitas serat lebih rendah dibandingkan dengan serat Filipina yang dikerjakan dengan cara manual.

Serat Sikat

Di Hindia Belanda adanya serat flapper dan serat aren yang akan diolah menjadi barang bernilai berupa serat sikat. Permintaan serat flapper meninggat pada abad XIX, pada 1896, Manado mengekspor kopra sebesar 6.000 ton dan pada 1900 naik 10,2% dan Jawa ekspor 32.257 ton kopra. Pada 1928 produksi kopra 440.851 ton dari perkebunan 23.539 ton dan dari penduduk lokal sejumlah 417.512 ton. Upaya mengekstrasi serat flapper ekspor di Hindia Belanda talah dilakukan meskipun mengalami kegagalan.

Serat aren memiliki sifat elastis dan kasar kurang cocok digunakan untuk tali, permintaan di Eropa mengenai serat aren. Awal XX terdapat dua pabrik di Jawa yang mengelola serat aren dalam pembersihan, penyortiran dan pengemasan, namun adanya halangan yang mengharuskan ketidak berhasilan.

Serat Untuk Bahan Tekstil

Abad XVIII dibandingkan abad XIX, Jawa memiliki makna yang besar pada paruh kedua, jumlah produksi kapas di Hindia Belanda sangat sedikit dibandingkan produksi kapas nrgara lain. Produksi kapas bisa ditemui pada 1911 seluas 7.000 bahu di palembang, 732 bahu di Semarang, selain itu kapuk juga dibudidayakan di Bali dan Lombok, tanaman serat yang lainnya ialah rami, tidak adanya ekspor rami di Hindia Belanda, tanaman rami hanya dalam skala kecil oleh penduduk lokal. Selain itu juga ada serat yute, tetapi hanya tumbuh di Delta Gangga dengan pengaruh iklim serta kondisi tanah yang menguntungkan.

Serat Bahan Pengisi Material

Kapuk Jawa dengan nama randu merupakan produksi paling penting di Hindia Belanda, ekspor kapuk pada 1900 sampai 1936, nilai ekspor menjadi 24.600 ton karena serat kapuk ringan, tahan lembab, tidak berbau, bebasa hama dan dapat disterilkan berulang kali dengan pemanasan tanpa merusak serat. Pada 1914, Jawa dan Madura berhasil mengekspor kapuk 150.000 pikul dari total itu ada sekitar 86.500 pikul yang diekspor melalui pelabuhan Semarang.

Ada juga serat sutra yang dibudidayakan di Hindia Belanda. Permintaan serat sutra tidak terlalu banyak karena ketahananya yang lebih rendah dibandingkan dengan kapuk, budidaya sutra lebih mudah karena tidak banyak membutuhkan tanah untuk hidup.

Serat Bahan Anyaman

Serat anyaman ada beberapa macam anataranya rotan, bambu, pandan dan puron. Salah satu serat anyaman rotan komoditas hutan yang paling penting, pada 1914 Hindia Belanda mengekspo lebih dari 42.000 ton yang dihasilkan Sulawesi 20.000 ton, Kalimantan 12.000 ton, dan Sumatera 10.000 ton teteapi tidak mempunyai nilai komorsial yang besar dan panen rotan di Jawa tidak mencukupi kebutuhan penduduk lokal, maka adanya pasokan rotan bermutu rendah dari kalimantan. Sebelum perang Jerman merupakan konsumen rotan terbesar, tetapi awal abad XIX Amerika muncul menggeser Jerman sebagai konsumen rotan terbesar dan Cina juga membeli rotan dengan kulaitas rendah selain itu penduduk Hindia Belanda menggunakan rotan menggunakan rotan untuk kebutuhan pribadi.

Adanya serat bambu, beberapa negara Asia menghasilkan bambu, maka Hindia Belanda tidak melakukan ekspor dalam bentuk barang praktis, topi dibuat lapisan luar dari bambu yang tebal. Topi pandan juga muncul pada tahun 1906 sebangai barang ekspor, anyaman pandan untuk produksi di pulau Bawean juga menembus ekspor ke penjuru Nusantara maka pandan dibudidayakan oleh penduduk di tanah kosong dan sebagai pagar untuk pembatas ladang. Selain itu juga ada serat puron tumbuh di Kalimantan Tenggara yaitu Martapura, Kandangan dan Amoentai yang menghasilkan tikar dari Riau dan Palembang.

Serat Untuk Kertas

Di jawa terdapat  pengelolahan kertas yang disebut kertas Jawa. Serat jenis Agave sisalana dan Agave cantala,Agave merupakan varietas dari tanaman randu. Di Hindia Belanda terdapat tiga jenis yaitu Agave sisalana, Agave cantala, serat Agave sp. Pada abad XIX , serat kertas telah menggeser telah menggeser penggunaan serat lembut dalam bahan baku produksi tali temali.

B.  Perkebunan Serat di Hindia Belanda

Di Jawa Barat, khususnya daerah Tjikalong, terdapat dua perusahaan pengolah tanaman serat, perusahaan milikk Thung Bouw Lim di Ngalindoeng yang memiliki luas perkebunan mencapai 162 bahu dan mengahilkan produk dari tanaman serat dan pada 22 Juni 1892 terdapat perusahaan Handel en Cultuurmaatschapppij Ip Kiat tepatnya di Bandung III dengan luas perkebunan 161 bahu sebagai penghasil serat dan tanaman teh.

        Jawa Tengah beberapa perkebunan menghasilkan serat di Medalan, Sragen tepatnya di Modjo Sragen berdiri perusahaan J. Caspersz Cultuur-Maatchappij milik P. A. Jut dan Bourghelles dan perusahaan Cultuur-Maatchappij Tarik milik F.H. Tiedeman tepatnya di Ngaroem menghasilkan serat berupa kapuk dan beberapa serat lainnya, dan perkebunan milik J.J. Oxenaar O.P. W. Moyma di Karaban menghasilkan selain padi dan karet, perusahaan Houtaankap en Cultuuranmaatschappij Kedoemngbanteng milik J. Schafer yang menghasilkan serat nanas dan kapuk, dan perusahaan Cultuur-Maatschappij Moenggoer Pereng milik J.F. Hora Siccama menghasilkan kapuk dan serat.

     Di Pekalongan, Jawa Tengah terdapat perusahaan Bananen Cultuuranmaatschappij milik J.J. Binendijk yang terletak di Ponowareng menghasilkan padi, pisang, dan kulit pusing dan perusahan Bananen, Demak juga terdapat perusahaan Vennootschap kapok: olie en zeepfabriek Randoe milik M.F.J Gritters-Double menghasilkan serat kapuk dan kapas, dll.

            Di Wonogiri setelah reorganisasi agararia 1912, usaha kapuk randu dijalankan Mangkunegaran tidak berjalan lama pada. Pada 1923 Praja mengupayakan di Mojogedang pada 1919 daerah peresmian seluas enam belas hektar. Pabrik di Wonogiri berjalan kembali ditahun 1913 diperluas pada 1918 berdiri sampai 1917.

         Di Jawa Timur pertama 18 April 1880 tempatnya diampel, kedua pada 18 Februari 1875 di Blaboer, ketiga pada 2 Maret 1876, keempat 8 Februari 1879 di Gondang, kelima 15 September 1893 di Poerwantoro.

    Di Kediri didiraka di Pare perusahaan Handelsvereeniging, perusahaan Handelsvereeniging Amsterdam, dan perusahaan N.V Handelserveening Amsterdam berlanjut di Blitar ada perusahaan serat N.V Handelserveening, Beranjak di Banyuwangi terdapat perushaan pemasok perusahaan Firman E. Moorman & Co. Yamg diambil alih Th. H. Mae Gillavry dan perusahaan Firma E. Moorman & co. Milik Th. Mae Gillavrv di Pasewaran I.

            Beberapa perusahaan yang telah dicantumkan saksi atas keberadaan pusat-pusat pengembangan serat yang terbesar di Pulau Jawa. Lonjakan hasil pertanian dan perkebunan membuat perusahaan dan perkebunan serat didirikan sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX. Pada masa itu perusahaan menghasilkan Vorstenlanden lebih sedikit dari pada kopi, tebu, tembakau, dan teh.

 Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden           Kolonialisme Belanda di tahun awal abad XIX sampai awal abad XX mengalami puncak kejayaan dar...

 Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden


        Kolonialisme Belanda di tahun awal abad XIX sampai awal abad XX mengalami puncak kejayaan dari segi ekonomi perkebunan.  Salah satu perkebunan yang memiliki lahan yang subur  ialah wilayah Vorstenlanden Surakarta sedangkan wilayah yang kurang subur tetap bisa dipergunakan tanaman komoditas yang sesuai dengan tanah. Sehingga wilayah Vorstenlanden Surakarta diperebutkan oleh para pengadu nasib dari negeri sebrang laut dan Sunan maupun Mangkunegara untuk bercocok tanam.

A.      Masa Perintisan (1817-1830)

Giyanti 1755 membagikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Mangkubumi dengan diikuti Kasanananan Surakarta pada 1757 memberikan sebagian wilayahnya keapada R.M Said, sehingga Sunan, Sultan, Dan Adipati Mangkunegara sebagai pemilik tanah mendapatkan hak untuk membagikan tanah tersebut. Pejabat istana berhak mewariskan tanah apenage kepada keturunan sampai generasi ke empat. Sistem apenage muncul petugas pemungut pajak, nantinya antara patuh da bekel menerapkan sistem bagi hasil sesuai perjanjian awal. Pada abad XVIII, lahan Vorstenlanden disewa orang Tionghoa, abad XVIII para residen mulai serta ikut menyewa lahan apanage. Thomas Stamford Raffles Abad XIX (1811-1816) menarik sewa tanah dengan dasar penguasa lokal merupakan pemilik dari semua tanah yang digarap oleh rakyat, apabila penguasa lokal takluk hak jatuh kepada pemerintah, rakyat wajib membayar sewa dengan uang sesuai dengan seperempat hasil panennya, sistem tersebut berjalan sampai 1816 pemerintah kolonial Belanda setelah Inggris meninggalkan Jawa.

Para pengusaha Belanda berkeluh kesah dengan iklim negatif dalam dunia infestasi akibat perang pada tahun 1817. Burgst menanggapi keluhan tersebut dan mendapatkan solusi melakukan pembicaran dengan para pejabat Vortenlandenden agar bersedia menyewakan tanah kepada pengusaha swasta karena pemodal swasta menguntungkan kas negara melalui pajak, akan membuat banyak lahan tandus menjadi subur sehingga mengalami perluasan dengan harapan menghasilkan panen yang lebih besar dari pada lahan yang dikelola oleh pemerintah bumi putra, dan menguntungkan pemodal serta pejabat kolonial tetapi adanya masalah pemodal swasta Eropa menuntut jaminan hukum kepanya dengan cerdik Najuis mendekati Paku Alam I untuk mendesak Jendral di Batavia agar memberikan jaminan para pemodal swasta di Vorstenlanden. Awal 1819, golongan investasi swasta masuk ke Vorstenlanden Yogyakarta pelantara Nahujis dan Patih Danureja IV menyewa lahan dalam jangka 10 hingga 15 tahun pembaayaran diawal. Surakarta menjadi incaran baru tetapi pemimpin Paku Buwana IV anti Belanda. Pelan-pelan mempengaruhi Residen Surakarta, Rijck van Prehn untuk menetapkan Angger Sedasa pada 1818, peraturan resmi penyewaan tanah apanage kepada Belanda (Eropa) dan Cina dalam jangka 3 sapai 4 tahun. Tak lama Paku Buwana IV pada 1820 raja belia naik tahta berjuluk Sunan Paku Buwana V, tahun 1820 jangka waktu penyewa tanah yang diizinkan hanya berkisar setahun, tetapi boleh diperpanjang setiap tahun.

          Pada 6 juli 1823, Gubenur Jendral G.A.G.Ph. Baron van der Capellen (1816-1826) adanya larangan pesewaan tanah di Vorstenlanden. Orang Eropa hanya boleh menyewa tanah sebagai taman bukan dijadikan perkebunan tanaman komoditas dengan pertimbangan Capellen orang Eropa penyebab ketikstabilan perekonomian penguasa lokal, para priyayi, dan petani pengelolah lahan, adanya ketimpangan ekonomi di wilayah Vorstenlanden dengan penghapusan sewa bukan hanya penyelewengan praktik, tetapi lebih didasarkan pada penurunan pendapatan pemerintah kolonial. Para penyewa marah, Nahuijs pun turut kecewa, dan kalangan priyayi yang sudah menerima uang sewa juga ikut kecewa sehingga kekecewaan menjadi simpati priyayi kepada pangeran Dipanegara yang menggelorkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda (1825-1830) dan adanya evaluasi kebijakan pun dilakukan. (1826-1830) Hindia Belanda dipimpin Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies membuka kembali kran penyewaan tanah kepada orang Eropa pada 1827 dilegalkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 53 Tahun 1827.

B.       Masa Tarik Sewa Tanah (1830-1912)

Masa perintisan modal asing masuk secara masif kewilayah Vorstenlanden tanpa bisa dibendung. Gubenur merasa pemerintah kolonial tidak memperoleh keuntungan signifikan dari penyewaan tanah, (1830-1912) mulai memasuki babak baru ditandai percobaan dan rencana pemerintah kolonial mengadakan reorganisasi agraria. Pada 1830an para penyewa bergembira ekonomi perkebunan kembali menggeliat. Pada 1857 adanya kebijakan wilayah baru Vorstenlanden pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam Staatsblad van Nederlandcah-iIndie No. 116, 1857. Pada 1870 undang-undang Agraria disahkan. Pada 1884 pembaruan kebijakan lama maksimal penyewaan tidak beruba. Pada 1891 pemerintah koloni menambah durasi sewa hingga 30 tahun berdasarka Staatsblad van Nederlandcah-iIndie No. 255, 1891.

Pada 1890 kehidupan priyayi berubah yang lahannya disewakan merasakan efek negatif dari sistem sewa kehilangan lahan produktif dan penguasa lokal yang memberi izin selalu dipatuhi meskipun uang sewa rendah sehingga para  patuh  meminta tambahan uang sewa atau berupa barang. 1882 adanya perkumpulan De Vereeniging van Solosche landhuurders te Soerakarta pada 1909 berubah menjadi Solosche Landhuurders Vereeniging Itujuannya menghimpun kekuatan saat terjadi sengketa dengan penguasa lokal. Pada 1857 Buschkerens tidak memperpanjang kontrak sewa tanah di wilayah Mangkunegaran. Penghapusan sistem sewa di Vorstenlanden selambat-lambatnya 1858 hingga 1859 tetepi niat tersebut harus ditunda sementara. Pada 1860 pemerintah kolonial justru mengizinkan Landhuurders memperpanjang kontrak. Mulai 1862-1871 Mangkunegara IV menarik tanah apenage yang dikuasai sentana maupun anggota Legiun Mangkunegara.

Mangkunegara IV membuat kebijakan pada 1879, peraturan menunjukkan bahwa masih ada tanah apanage dapat dibagi menjadi tiga:

1.    Tanah apanage dipegang oleh patuh yang dikelola bekel.

2.    Tahan apanage disewakan kepada landhuurders.

3.    Tahan apanage diserahkan kembali kepada praja karena sudah diwariskan selama empat keturunan atau patuh telah meninggal.

Memasuki abada XX, pemerintah memulai kebijakan reorganisasi agraria. Khasanah menginterpetasi pemerintah kolonial ingin menghapus secara perlahab ikatan feodal yang dimiliki antara pengolah lahan, pemegang lahan, dan pemilik lahan. Pada Agustus 1909, de Graff ke Surakarta untuk menindak lanjuti rencana reorganisasi agraria, mengirimkan rencana tersebut pada 22 November 1909 dan di sosialisasikan pada Mei 1910. Pada Agustus 1911, rencana reorganisasi baru untuk Vorstenlanden dibuat oleh Direktur Pemerintahan dalam Negeri Tollenar yang menggantikan de Graaff dan dibahas dengan Inspektur Dinas Agraria de Roo de la Faille dan para pejabat berwwnang lainnya  pada 26 Agustus 1911. Hasil kesepakatan diperbincangkan dengan para residen di Vorstenlanden dan mengirim draf reorganisasi kepada Solosche Landhuurders Vereeninging dan kelima asisten residen untuk didiskusikan dan hasil akhir kibijakan mendapatkan dukungan dari investor di Belanda.

C.       Masa Reorganisai Agraria (1912-1927)

Gubenur Jendral secara resmi meminta sunan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tahan lebih dari sepuluh tahun pada 1912, kebijakan penghapusan tanah apenage pada 1917 sesuai dengan Rijksblad yang telah ditetapkan. Per 1 Januari 1918, lahan apanage di Karesiden Surakarta dihapus dan selesai pada 1927 masa pemerintahan Residen J.H. Nieuwenhuijs. Konsekuensinya, patuh diberi gaji berupa uang stiap bulan dan jambatan bekel ikut dihapus. Selain itu adanya larangan pengalihan hak atas tanah keada orang asing tetapi tidak diberlakukan wilayah perkotaan. Reorganisasi agraria menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan di Vorstenlenden.

Bagi pemerintah desa, reorganisasi memberikan wewenang atas tanah komunal diantaranya desa berwenang untuk mengelola tanah pensiun yang dikembalikan oleh penerima pensiun, desa berwenang untuk mengelola tanah pensiun yang dikembalikan oleh penerima pensiun dan desa berhak mengelola pekarangan, tanah penggembalan, serta makam desa.

Bagi penguasa lokal, reorganisasi menurunkan wibawa dan kuasa atas wilayah yang dimilikinya, tidak memiliki kekuasaan untuk menarik tanah yang ada diwilayahnya, dan gaji yang diperoleh cepat habis karena hidup hedonis.

Bagi penguasa perkebunan, reorganisasi memberikan jaminan kuat dapat menikmati penyedian lahan , tenaga kerja murah, fasilitas irigasi, pengendalian hama dan penyakit, dan fasilitas transpotasi. Sedangkan petani masih mengalami kesusahan karena tanah masih disewakan kapada pengusaha swasta dan bergantung pada upah yang kecil.

Demikianlah ekonomi perkebunan telah mempengaruhi peradaban  Vorstenlenden Surakarta. Mordenisasi adalah salah satu manfaat yang diperoleh dari ekonomi perkebunan.

Onderneming Mento Toelakan Dinamika Perkebunan Serat di Pinggiran Wonogiri 1897-1996 Judul Buku            Ondernemin...

Onderneming Mento Toelakan

Dinamika Perkebunan Serat di Pinggiran Wonogiri 1897-1996


Judul Buku          

Onderneming Mento Toelakan 

Dinamika Perkebunan Serat di Pinggiran Wonogiri 1897-1996

Penulis

Dennys Pradita, Adi P.S. Wardhana, Meilina Fathonah, Siti Rhohana, Hany Nurpratiwi, Afriani Nurhastuti, Toni Prasetyo, Efel Indhurian

Kata Pengantar

Prof. Dr. Wasino, M.Hum.

Editor

Adi P.S. Wardhana dan Dennys Pradita

Layout

Yusuf Deni Kristanto, S.Pd

Desain Cover 

Dennys Pradita, M.A

Gambar Cover     Koleksi Univ. Leiden
Penerbit

Lakeisha  (Anggota IKAPI No. 181/JNE/2019)

Cetakan

1 Maret 2021

Tahun Terbit

2021

Ukuran Buku dan Tebal Halaman

14,8cm x 21 cm dan
147 halaman

ISBN 

978-623-6948-88-0

Redaksi

Jl. Jatinom Boyolali, Srikaton, Rt.003, Rw.001, Pucangmiliran, Tulung, Klaten, Jawa Tengah, Hp. 08989880852, Email: penerbit_lakeisha@yahoo.com Website: www.penerbitlakeisha.com