Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden           Kolonialisme Belanda di tahun awal abad XIX sampai awal abad XX mengalami puncak kejayaan dar...

Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden

 Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden


        Kolonialisme Belanda di tahun awal abad XIX sampai awal abad XX mengalami puncak kejayaan dari segi ekonomi perkebunan.  Salah satu perkebunan yang memiliki lahan yang subur  ialah wilayah Vorstenlanden Surakarta sedangkan wilayah yang kurang subur tetap bisa dipergunakan tanaman komoditas yang sesuai dengan tanah. Sehingga wilayah Vorstenlanden Surakarta diperebutkan oleh para pengadu nasib dari negeri sebrang laut dan Sunan maupun Mangkunegara untuk bercocok tanam.

A.      Masa Perintisan (1817-1830)

Giyanti 1755 membagikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Mangkubumi dengan diikuti Kasanananan Surakarta pada 1757 memberikan sebagian wilayahnya keapada R.M Said, sehingga Sunan, Sultan, Dan Adipati Mangkunegara sebagai pemilik tanah mendapatkan hak untuk membagikan tanah tersebut. Pejabat istana berhak mewariskan tanah apenage kepada keturunan sampai generasi ke empat. Sistem apenage muncul petugas pemungut pajak, nantinya antara patuh da bekel menerapkan sistem bagi hasil sesuai perjanjian awal. Pada abad XVIII, lahan Vorstenlanden disewa orang Tionghoa, abad XVIII para residen mulai serta ikut menyewa lahan apanage. Thomas Stamford Raffles Abad XIX (1811-1816) menarik sewa tanah dengan dasar penguasa lokal merupakan pemilik dari semua tanah yang digarap oleh rakyat, apabila penguasa lokal takluk hak jatuh kepada pemerintah, rakyat wajib membayar sewa dengan uang sesuai dengan seperempat hasil panennya, sistem tersebut berjalan sampai 1816 pemerintah kolonial Belanda setelah Inggris meninggalkan Jawa.

Para pengusaha Belanda berkeluh kesah dengan iklim negatif dalam dunia infestasi akibat perang pada tahun 1817. Burgst menanggapi keluhan tersebut dan mendapatkan solusi melakukan pembicaran dengan para pejabat Vortenlandenden agar bersedia menyewakan tanah kepada pengusaha swasta karena pemodal swasta menguntungkan kas negara melalui pajak, akan membuat banyak lahan tandus menjadi subur sehingga mengalami perluasan dengan harapan menghasilkan panen yang lebih besar dari pada lahan yang dikelola oleh pemerintah bumi putra, dan menguntungkan pemodal serta pejabat kolonial tetapi adanya masalah pemodal swasta Eropa menuntut jaminan hukum kepanya dengan cerdik Najuis mendekati Paku Alam I untuk mendesak Jendral di Batavia agar memberikan jaminan para pemodal swasta di Vorstenlanden. Awal 1819, golongan investasi swasta masuk ke Vorstenlanden Yogyakarta pelantara Nahujis dan Patih Danureja IV menyewa lahan dalam jangka 10 hingga 15 tahun pembaayaran diawal. Surakarta menjadi incaran baru tetapi pemimpin Paku Buwana IV anti Belanda. Pelan-pelan mempengaruhi Residen Surakarta, Rijck van Prehn untuk menetapkan Angger Sedasa pada 1818, peraturan resmi penyewaan tanah apanage kepada Belanda (Eropa) dan Cina dalam jangka 3 sapai 4 tahun. Tak lama Paku Buwana IV pada 1820 raja belia naik tahta berjuluk Sunan Paku Buwana V, tahun 1820 jangka waktu penyewa tanah yang diizinkan hanya berkisar setahun, tetapi boleh diperpanjang setiap tahun.

          Pada 6 juli 1823, Gubenur Jendral G.A.G.Ph. Baron van der Capellen (1816-1826) adanya larangan pesewaan tanah di Vorstenlanden. Orang Eropa hanya boleh menyewa tanah sebagai taman bukan dijadikan perkebunan tanaman komoditas dengan pertimbangan Capellen orang Eropa penyebab ketikstabilan perekonomian penguasa lokal, para priyayi, dan petani pengelolah lahan, adanya ketimpangan ekonomi di wilayah Vorstenlanden dengan penghapusan sewa bukan hanya penyelewengan praktik, tetapi lebih didasarkan pada penurunan pendapatan pemerintah kolonial. Para penyewa marah, Nahuijs pun turut kecewa, dan kalangan priyayi yang sudah menerima uang sewa juga ikut kecewa sehingga kekecewaan menjadi simpati priyayi kepada pangeran Dipanegara yang menggelorkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda (1825-1830) dan adanya evaluasi kebijakan pun dilakukan. (1826-1830) Hindia Belanda dipimpin Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies membuka kembali kran penyewaan tanah kepada orang Eropa pada 1827 dilegalkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 53 Tahun 1827.

B.       Masa Tarik Sewa Tanah (1830-1912)

Masa perintisan modal asing masuk secara masif kewilayah Vorstenlanden tanpa bisa dibendung. Gubenur merasa pemerintah kolonial tidak memperoleh keuntungan signifikan dari penyewaan tanah, (1830-1912) mulai memasuki babak baru ditandai percobaan dan rencana pemerintah kolonial mengadakan reorganisasi agraria. Pada 1830an para penyewa bergembira ekonomi perkebunan kembali menggeliat. Pada 1857 adanya kebijakan wilayah baru Vorstenlanden pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam Staatsblad van Nederlandcah-iIndie No. 116, 1857. Pada 1870 undang-undang Agraria disahkan. Pada 1884 pembaruan kebijakan lama maksimal penyewaan tidak beruba. Pada 1891 pemerintah koloni menambah durasi sewa hingga 30 tahun berdasarka Staatsblad van Nederlandcah-iIndie No. 255, 1891.

Pada 1890 kehidupan priyayi berubah yang lahannya disewakan merasakan efek negatif dari sistem sewa kehilangan lahan produktif dan penguasa lokal yang memberi izin selalu dipatuhi meskipun uang sewa rendah sehingga para  patuh  meminta tambahan uang sewa atau berupa barang. 1882 adanya perkumpulan De Vereeniging van Solosche landhuurders te Soerakarta pada 1909 berubah menjadi Solosche Landhuurders Vereeniging Itujuannya menghimpun kekuatan saat terjadi sengketa dengan penguasa lokal. Pada 1857 Buschkerens tidak memperpanjang kontrak sewa tanah di wilayah Mangkunegaran. Penghapusan sistem sewa di Vorstenlanden selambat-lambatnya 1858 hingga 1859 tetepi niat tersebut harus ditunda sementara. Pada 1860 pemerintah kolonial justru mengizinkan Landhuurders memperpanjang kontrak. Mulai 1862-1871 Mangkunegara IV menarik tanah apenage yang dikuasai sentana maupun anggota Legiun Mangkunegara.

Mangkunegara IV membuat kebijakan pada 1879, peraturan menunjukkan bahwa masih ada tanah apanage dapat dibagi menjadi tiga:

1.    Tanah apanage dipegang oleh patuh yang dikelola bekel.

2.    Tahan apanage disewakan kepada landhuurders.

3.    Tahan apanage diserahkan kembali kepada praja karena sudah diwariskan selama empat keturunan atau patuh telah meninggal.

Memasuki abada XX, pemerintah memulai kebijakan reorganisasi agraria. Khasanah menginterpetasi pemerintah kolonial ingin menghapus secara perlahab ikatan feodal yang dimiliki antara pengolah lahan, pemegang lahan, dan pemilik lahan. Pada Agustus 1909, de Graff ke Surakarta untuk menindak lanjuti rencana reorganisasi agraria, mengirimkan rencana tersebut pada 22 November 1909 dan di sosialisasikan pada Mei 1910. Pada Agustus 1911, rencana reorganisasi baru untuk Vorstenlanden dibuat oleh Direktur Pemerintahan dalam Negeri Tollenar yang menggantikan de Graaff dan dibahas dengan Inspektur Dinas Agraria de Roo de la Faille dan para pejabat berwwnang lainnya  pada 26 Agustus 1911. Hasil kesepakatan diperbincangkan dengan para residen di Vorstenlanden dan mengirim draf reorganisasi kepada Solosche Landhuurders Vereeninging dan kelima asisten residen untuk didiskusikan dan hasil akhir kibijakan mendapatkan dukungan dari investor di Belanda.

C.       Masa Reorganisai Agraria (1912-1927)

Gubenur Jendral secara resmi meminta sunan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tahan lebih dari sepuluh tahun pada 1912, kebijakan penghapusan tanah apenage pada 1917 sesuai dengan Rijksblad yang telah ditetapkan. Per 1 Januari 1918, lahan apanage di Karesiden Surakarta dihapus dan selesai pada 1927 masa pemerintahan Residen J.H. Nieuwenhuijs. Konsekuensinya, patuh diberi gaji berupa uang stiap bulan dan jambatan bekel ikut dihapus. Selain itu adanya larangan pengalihan hak atas tanah keada orang asing tetapi tidak diberlakukan wilayah perkotaan. Reorganisasi agraria menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan di Vorstenlenden.

Bagi pemerintah desa, reorganisasi memberikan wewenang atas tanah komunal diantaranya desa berwenang untuk mengelola tanah pensiun yang dikembalikan oleh penerima pensiun, desa berwenang untuk mengelola tanah pensiun yang dikembalikan oleh penerima pensiun dan desa berhak mengelola pekarangan, tanah penggembalan, serta makam desa.

Bagi penguasa lokal, reorganisasi menurunkan wibawa dan kuasa atas wilayah yang dimilikinya, tidak memiliki kekuasaan untuk menarik tanah yang ada diwilayahnya, dan gaji yang diperoleh cepat habis karena hidup hedonis.

Bagi penguasa perkebunan, reorganisasi memberikan jaminan kuat dapat menikmati penyedian lahan , tenaga kerja murah, fasilitas irigasi, pengendalian hama dan penyakit, dan fasilitas transpotasi. Sedangkan petani masih mengalami kesusahan karena tanah masih disewakan kapada pengusaha swasta dan bergantung pada upah yang kecil.

Demikianlah ekonomi perkebunan telah mempengaruhi peradaban  Vorstenlenden Surakarta. Mordenisasi adalah salah satu manfaat yang diperoleh dari ekonomi perkebunan.

0 komentar: