Masa tidak stabil pada 1940-an perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung cepat. Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan otoritas ke pemerintahan Jepang termasuk pengelohan perkenbunan Mento Toelakan.
Adanya perjanjian pemerintahan Hinda Belanda dan Jepang pada 1942, kota Surakarta pun dikuasi Jepang, wilayah Vorstenlenden sebagai kochi oleh pemerintahan militer Jepang. Kebijakan Jepang mengubah Paku Buwana XI (1939-1945) Surakarta Koo dan Mangkunegara VII (1916-1944) Mangkunegara Koo statusnya dibawah Dai Nippon Gunshireikan agar bisa kerja sama dengan Jepang, kebijakan tersebut memengaruhi Onderneming Mento Toelakan Jepang menguasai hingga Eropa angkat kaki dengan aturan Undang-Undang No.17 1 Juni 1942, dengan mengambil tanah partikelir asing.
Jepang memperluas perkebunan serat di bawah perusahan Mitsui Noorin Company dan Osaka Seima. Serat yang dikembangkan antaranya yute jawa, rosela, rami dan sisal (Agave sisalana) dengan perusahaan Osaka Seima, Keizumi Seima dan Nanyo Kohatsu, adanya krisis sandang maka mewajibkan menanam rami, rosela dan kapas sampai masyarakat bumi putra menggunakan kain goni sebagai pakaian hingga tumbuh penyakit kulit.
Pada 1940, Wonogiri minim musim hujan, berdampak kawasan gunung kapur sehingga gagal panen, Mento Toelakan krisis air karena tidak memiliki cadangan air. Selain itu, masyarakat Mento Toelakan tidak merasakan manfaat hasil perkebunan karena semua produksi digunakan oleh Jepang.
B. Mento Toelakan Masa Revolusi
Pada 1945, Jepang menyerah kepada sekutu, Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan. Pemuda mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan terlaksana pada 17 Agustus 1945.
Surakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Mangkunegaran (DIM) dan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) bagian dari Republik Indonesia. Perkebunan dan perusahan serat Mento Toelakan diambil alih oleh pihak mangkunegara adanya upaya membangkitkan kembali pengelolahan serat.
Mangkunegara sebagai penguasa di alam republik kurang mampu menyesuaikan diri dan terjadi anti swapraja sehingga Pemerintahan Republik mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.16/SD tahun 1946 dikeluarkan 15 Juli 1946, dengan keputusan semua pegawai, bangunan dan peralatan dambil alih pemerintah pusat. Pemerinatahan mengeluarkan aturan mengenai nasionalisasi aset perusahaan milik Mangkunegaraan sehingga produksi serat perkebunan Mento Toelakan tidak bisa beroprasi secara normal.
Pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda berupaya masuk ke pusat Wonogiri dan menyerang pada 20 Februari adanya perlawanan pejuang jalur yang menghubungkan Mento Toelakan dengan aerah lainya dihancurkan. Mento Toelakan dilindungo oleh personel Semut Ireng dan KNIL, adanya blokade Mento Toelakan lumpuh tidak bisa menjual hasil produksi, tuntutan pegawai yang butuh makan dan gaji membuat Mento Toelakan bangkrut. Kemunduran Mento Toelakan juga dipengaruhi sistem manajerial, kondisi serba chaos memengaruhi sistem manajireal yang tidak bisa beradaptasi dengan kondisi selama masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Mento Toelakan beroprasi sampai 1951.
Penjarahan oleh masyarakat dikawasan pabrik meluas ke jalur lori, jalur kereta lori dijarah dijadikan alat pertanian. Perkebunan benar-benar tidak bisa beroprasi setelah penjarahan
C. Pembentukan Desa Wonoharjo
Pada 1940an, keruntuhann lahan Mangkunegara mengalami kekosongan pemerintahan, perkebunan Mento Toelakan menjadi beberapa Desa dengan sistem pemerintahan desa yang dibuat pada 1917.
Desa Wonoharjo lahir 1949, secara harafiah berasal dari dua kata, yaitu wana dan harja yang artinya hutan (serat nanas) yang ramai, desa induk di Mento Toelakan. Pemerintahan desa Wonoharjo dipimpin oleh kepala desa dibantu dengan staf dan kepala dusun. Kepala desa ditentukan dengan pemilihan umum yang pernah menjabat yakni Sonorejo, Marbun, Atmo Disastro, Wiro Sumanto, Satro Karmin, Mitro Wiguno, Y.Parmin, Sunaryo, dan Y. Parmin.
Wonoharjo terbagi 14 dusun meliputi Ngasinan Etan, Ngasinan Kulon, Mento, Gondang Kurung, Setro, Gandaran, Blumbang, Gebung Etan, Gebung Kulon, Semanding, Blimbing, Toelakan, Bledo, dan Talun Ombo pusat ekonomi.
Mento pusat pemerintahan tetapi beberapa kali mengalami pemindahan, pada 1949-1956 berada di rumah ditunjuk kepala desa, pada 1965 nomaden mengikuti domisili kepala desa dan Talun Ombo ditetapkan sebagai pusat pemerintahan dengan berdampingan dengan pasar. Pada 1994, pusat pemerintahan dibpindahkan ke dusun Gandaran.
D. Pembagian Tanaha Perkebunan Mento Toelakan
Aset Mangkunegara termasuk aset tanah di Mento Toelakan menjadi tanah negara, status tanah tidak beraturan, masyarakat dan bekas pegawai melakukan pembabatan atau mbengkeli nanasan untuk dipatok untuk mengolah lahan bekas perkebunan sebagai lahan pertanian masyarakat lantas mengajukan pemetaan agar mendapat legalitas hak kepemilikan secara individu, tiap individu hingga mendapatkan 2,5 hektar.
Tanah hasil bengkelan diukur oleh petugas atau mantan Hoofd Mandor Martosandjojo yang dipercaya masyarakat karena lulusan HIS untuk mengtahui batasan wilayah anatar individu dan diklaim hak milik kepada Dinas Pertanian Pertahanan atau Agraria Wonogiri pada 1951. Masyarakat mendapatkan legalitas berupa surat hak milik dengan didokumentasikan dibuku induk tanah desa Wonoharjo. Perubahan ini semakin memperjelas batas-batas wilayah, terutama anatar wilayah kabupaten. Setelah muncul desa baru, maka semakin jelas pula batas wilayah.
E. Dari Perkebunan ke Tegalan: Menghidupkan Kembali Usaha Serat
Mento Toelakan yang bangkrut hingga tanaman serat tumbuh liar, pada 1950 Atmo Sudirjo Slamet dan Marto Sandjojo (Mantan Hoofd Mandor Onderneming) mencoba mengolah serat untuk membangu perekonomian keluarga dan menjadi pengusaha kecil di Wonoharjo dengan mengelola serat rami dan rosela.
Akhir 1940 atau awal 1950-an menjadi perubahan lanskap yang besar di bekas Mento Toelakan, kawasan perkebunan vegetasi perkebunan dibabat dianggap tidak menghasilkan apa-apa berubah menjadi kawasan persawahan menanam padi, jagung, dan singkong.
Tanaman rami dan rosela tidak membutuhkan banyak tempat tumbuh diantara jagung dan singkong menjadi tanaman yang tersisa dari bekas perkebunan Mento Toelakan yang diolah rumahan pertama dari Wonoharjo dijual ke pengelolahan serat di Delanggu (Klaten) atau ke Nusukan (Solo) tetapi pada 1953 tidak berkembang baik dan harus gulung tikar, beralih ke pertanian.
Pada 1955, desa Wonoharjo kedatangan investor Surabaya yang tertarik sebagai sentra olahan serat. Dengan modal masyarakat yang sudah berpengalaman mendulang kembali kejayaan Onderneming Mento Toelakan, pengusaha mengolah serat menjadi karung goni dan tali tambang hingga 1996.
Pertumbuhan zaman menggeser olahan serat alam dengan plastik karena lebih ekonomis sehingga serat kurang diminati lagi. Perusahan Jawa Timur menutup tempat usahanya kalah bersaing dengan biji plastik karena biji plastik lebih murah dan lebih minim resiko karena tidak memerlukan penanaman dan perawatan. Hal ini perusahaan besar berganti ke biji plastik sebagai bahan dasar pembuatan karung dan tambang, berakhirlah serat di Desa Wonorejo pada 1996.

0 komentar: