Mento Toelakan tercatat lahan anclave sebagian wilayahnya milik Praja yang dibatasi dengan Kasunanan Surakarta dengan batasan paal atau tugu batas, pada awal abad XX. Sudah kita bahas di BAB yang sebelumnya bahwa Mento Toelakan terdiri dari tanah apanage yang dikelola priyayi Mangkunegara yang sudah beroprasi pada 1863, lahan apanage belum bisa dipastikan jumlahnya sehingga adanya kemungkinan pernah dikelola sentana, narapraja, atau anggota Legiun Mangkunegaran. Lahan Mento Toelakan disewakan ketika kekuasaan Mangkunegara IV (1853-1881) dan menerapkan kebijakan apanage:
1. Mento Toelakan tetap dikelola narapraja ataupun anggota Legiun Mangkunegaran.
2. Lahan Mento Toelakan yang sudah terlanjur disewa swasta tidak bisa ditarik.
3. Lahan Mento Toelakan di zona abu-abu anatara milik Kasunanan dan Mangkunegara.
4. Penyewa tanah mendapat dukungan dari pejabat kolonial.
Pada 1916, besaran sewa yang harus dibayarkan kepadan Mangkunegara sebesar f 1.009, pada 1917 f 1.009,02, pada 1918 f 1.465,29. Mento Toelakan salah satu perkebunan orang Eropa diluar kontak dengan Gubernemen tetapi pemerintah kolonial memberikan perlindungan melalui Residen Surakarta sehingga tetap eksis sebagai Onderneming.
A. Mencoba Keberuntungan: Perkebunan Kopi di Mento Toelakan (1863-1897)
Mento Toelakan memiliki luas 1.416,5 bouws atau 1.048,21 ha, berada dilereng gunung Lawu dengan tinggi 600 kaki salah satu sisinya dengan tanah lempung merah atau coklat dan tidak rata sehingga cocok ditanami kopi.
Pada 1863 perkebunan dikelola D.N. Nolten, ditanami kopi dan mencoba menanam tembakau sebagai pendamping, pada 1865. Pada 1869, 1870, 1896 adanya berita yang simpang siur adanya pergantian tanaman kopi atau tembakau yang ditanam, tetapi tetap bahwasannya kopi yang ditanam dan tembakau sebagai pendamping.
Pada 1875-1876 adanya perubahan penyewa Onderneming Mento Toelakan oleh P.W.G. Gout salahsatu pengusaha perkebunan kopi di Vorstelenden, hasil kopi Mento Toelakan tidak sebaik wilayah lain dengan bukti laporan yang flukuatif. Pada 1882 produksi awal kopi 267 pikul, pada 1883 produksi kopi 100 pikul. Mengalami lonjakan sejak 1882 hingga 1883 dan mengalami penuruna 1883 samapai 1884 penyebabnya di Hindia-Belanda adanya penyakit karat daun hingga produksi kopi Vorstelenden jatuh pada periode 1882-1886 hingga Ekspor terpuruk pada 1890.
Pada 1886, P.W.G. Gout meninggal dunia, Onderneming Mento Toelakan dibeli J.C Buwalda dengan mempertahankan komoditas kopi dan tembakau, sistem panen tembakau lebih cepat dari pada kopi. Perkebenun kopi belum normal selepas adanya wabah karat daun, pada 1889 produksi kopi 20 pikul, pada 1890 produksi kopi 25 pikul, sedangkan tembakau 5.000 kg. Penanaman tembakau dibarengi dengan pembangunan gedung tembakau, pada 1889 gedung tembakau ada 3 tetapi sayangnya gedung tersebut kebakaran sehingga mengalami kerugian f 3.000.
Pada 1890 P. Buwalda ikut mengurusi perkebunan Mento Toelakan sebagai administator tetapi masih dimiliki J.C Buwalda. Pada awal P. Buwalda Mento Toelakan masih menggandalkan kopi, kopi sebagai komoditas unggul sampai 1895.
Pada 1895, P. Buwalda tidak bisa mengelola Mento Toelakan karena sibuk mengurus perusahan perkebunan di Jawa Tengah dam Jawa Timur sehingga P. Buwalda menunjuk C.F.W.K. Happe sebagai administator untuk perkebenunan kopi Mento Toelakan hingga menjabat sampai 1901.
B. Masa Transisi: Dari Kopi ke Serat (1897-1910)
Pada 1897 C.F.W.K. Happe memikirkan tanaman kakao dan kapuk sebagai pendamping kopi, kakoa di Hindia Belanda pada abad XIX. Pada 1899 adanya penanaman lada. Pada 1098 memulai memaksimalkan tembakau sebagai komoditas pendamping kopi. Dengan adanya kebakaran gedung tembakau pada 1889 membuat wasawas proyek tembakau di Mento Toelakan pada 1 Juni 1898 sehingga pengawas akan diberikan gaji f 100 per bulan prosentase hasil produksi yang akan dinegosiasikan oleh kedua belah pihak, dan pembudidayaan tembakau terlaksana pada 1901.
Pada 1902 C. Happe digantikan oleh H.C.B. Onken, perlahan memulai menjadikan Mento Toelakan sebagai sentra perkebunan serat, kopi dianggap kurang cocok, serat tidak sesulit kopi, serat tidak membutuhkan air banyak, dan bisa tumbuh subur di lahan kering. Kapuk yang sudah dibudidayakan terlebih dulu mulai dimaksimalkan. Serat nanas mulai ditanam, kedua jenis serat tersebut mengidikasikan usaha dari pemilik modal dan administrator untuk menggantikan tanaman kopi yang kurang menguntungkan brankas perusahaan sehingga serat nanas dan kapuk menjadi komoditas utama perkebunan Mento Toelakan.
Pada 1905, tanaman kopi sebagai komoditas utama digantikan Sisal (salah satu jenis serat nanas Agave sp) dibudidayakan secara masih hingga menjadi tnaman utama diperkebunan Mento Toelakan. Kapuk menjadi tanaman pendamping Sisal. Tetapi kopi masih ditanam di sebagian lahan Mento Toelakan.
Onderneming Mento Toelakan didaftarkan sebagai perusahaan serat pada 1906 dengan nama P. Buwalda dan Th. B Pleyte, modal f 150.000 yang terbagi dalam saham yang masing-masing f 1.000 dan baru distujui pada 1907 diregistrasi bernama Mento Toelakan Culutuurmaatshappij.
Mento Toelakan Culutuurmaatshappij merupakan anak perusahaan Buwalda Administratie Semarang, dengan persetujuan 24 Mei 1907 dengan kantor pusat di Semarang, memiliki perusahaan induk di Belanda, yaitu Buwalda & Co. Bosch yang didirikan pada 1894 di Amsterdam, hal ini menjadikan perusaahn Mento Toelakan lebih luas dan maju hingga memnuhi kebutuhan serat ditingkat lokal sampai internasional.
Serat tidak memberikan keuntungan sebesar kopi dan gula akan tetapi kebutuhan karung goni dalam industri gula dan kopi semakin besar sehingga produksi serat untuk memenuhi kebutuhan gula dan kopi dapat memberi keuntungan, mengoptimalkan serat di Mento Toelakan pada 1904. Buwalda memahami yang dibutuhkan masa yang akan datang atau mencuri start mempersiapkan sentra penghasil serat sebelum serat nanas menjadi trend di Hindia Belanda pada 1920-an dapat memenuhi brankas perusahan Buwalda. Mento Toelakan semakin berkembang pesat sebagai sentra serat di Hindia Belanda.
Pembudidayaan kopi lambat laun menjadi tanaman pendamping serat, kopi dibudidakan di daerah ketinggian, sedangkan Agrave sp atau searat nanas ditanam di dataran rendah. Pada 1906, H.C.B. Onken digantikan H.M. Middlebeek sebagai kepala adminstitor di Mento Toelakan. Kopi tak lagi andalan perkebunan, tanaman indigo sebagai tanaman peneduh sekaligus bahan baku tekstil, kapuk (randu) sebagai penghasil kapuk, dan tembakau untuk mengisi kekosongan panen tanaman komoditas lainnya untuk mengisi kekosongan panentanaman komoditas lainnya pada musim tertentu, kebijakan berlangsung hingga 1910.Pada 1908 mulai memasarkan Agrive rigida tanaman yang memproduksi serat dari daun untuk keperluan industri, sehingga Mento Toelakan sebagai perkebunan serat rosella, rami, kapas/ kapuk, dan serat nanas selain itu masih memproduksi kopi dan tembakau.
Pada 1909, kopi di Mento Toelakan berakhir dan tembakau juga ikut berakhir karena Mento Toelakan bersiap memproduksi serat dengan sekala besar sehingga mengorbankan tanaman komoditas yang kurang produktif.
Adanya hal menarik selama periode 1897 hingga 1910 adalah perkebunan Mento Toelakan tidak dipegang pemilik secara langsung. Onderneming Mento Toelakan dikelola perusahaan milik Buwalda Semarang menjadikan Mento Toelakan perusahaan modern, dapat menjelajahi pasar lokal dan internasional. Perusahaan stabil karena tidak berkantung pada pasar internasional.
C. Masa Kejayaan: Vezel Onderneming Mento Toelakan (1910-1942)
Penanaman kopi tidak lagi dilakukan pada 1910-an untuk memaksimalkan serat nanas dan mengembangkan berbagai jenis serat kwaliteit (kualitas) bagus sebagai campuran olahan serata nanas (Agive sp) sehingga menjadi Vezel Onderneming Mento Toelakan. Pada 1912, ada tanaman yute jawa (Hibiscus cannabinus) sebagai pendamping dengan minim biyaya perawatan dan dapat tumbuh diantara tanaman Agive sp. Agive sp berusia 20tahun diganti tanaman yang baru meskipun membutuhkan tenaga lebih tetapi pekerja menghasilkan serat yang baik.
Pada 1911, serat nanas dan serat yute jawa mendapat grade terbaik, sehingga memepertahankan dengan menanam Agave rigida, Agave cantala, dan Agave sisalana. Pada 1930, menemukan serat yang cocok dibudidayakan yakni Agave sisalana, hasil panen dipasarkan keseluruh Hindia Belanda, hingga tekenal produsen serat dengan kualitas dan kwaliteit terbaik.
Pada 1911, perusahaan sudah mendatangkan alat-alat modern untuk pengelolah dan pembersih serat hingga menjadi serat setengah jasi untuk dikirim di Klaten dan Surabaya. Pada 1913, menggunakan teknologi traktor agar mengolah lahan efektif dan efesien, tetapi kemajuan teknologi tidak diimbangi dengan sistem pengairan yang memadai. Pada Maret 1922 pembangunan jalur kereta tream Surakarta-Wonogiri pendukung akses distribusi perkebunan ke pelabuhan untuk ekspor, baik melalui Semarang maupun Surabaya. Untuk mempermudah pengangkutan, perkebunan membuat jalur lori penghubung kebun dan pabrik.
Pada 1919, ditengah keberhasilan Mento Toelakan P. Buwalda pemilik Culutuurmaatshappij Mento Toelakan meninggal dunia tetapi perushaan tetap berjalan di bawah naungan perusahaan profesional. Pada 1924, administrator perkebunan berganti P.W.C. Blankwaardt yang memiliki pengalaman dan relasi banyak. Untuk membangun relasi dunia bisnis melalui pernikahan putri Blankwaardt anak ke 2, Helena P.F. Blankwaardt dengan anak pemimpin perusahaan S.F. Djatiwangi di Cirebon pada 4 Desember 1927, dimaknai dengan pernikahan politis dalam dunia bisnis. Mento Toelakan bergerak pada perkebunan serat, sedangkan S.F. Djatiwangi pada industri gula, hal ini olahan serat digunakan sebagai karung untuk gula.
Pada 1928, F.H. Blankwaardt-van Egomond istri Blankwaardt meninggal dunia, pada November 1930 Blankwaardt usia 53 tahun menghembuskan nafas terakhir. Kursi administrator kosong pada 1940 baru didisi A. Mulder, A. Mulder administrator terakhir Onderneming Mento Toelakan dan akhirnya jatuh ke Jepang pada 1942.

0 komentar: